Pemerintah resmi menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis premium atau bensin sebesar Rp 500 per liter, menjadi Rp 5.500 per liter, mulai Senin (1/12) ini. Pemerintah menaikkan harga BBM 25 Mei silam karena harga minyak mentah di pasaran dunia tak terkendali, mencapai 145 dollar AS per barrel. Ketika harga minyak anjlok ke level 49 dollar AS per barrel pekan ini, pemerintah menurunkan harga bensin dari Rp 6.000/liter yang bertahan selama enam bulan.
"Terhitung berlaku mulai pukul 00.00 WIB tanggal 1 Desember 2008, harga eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) tertentu jenis Premium turun menjadi Rp 5.500 per liter," kata Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Departemen Energi dan Sumbar Daya Mineral Departemen ESDM Sutisna Prawira dalam siaran persnya di Jakarta, Minggu (30/11).
Ketetapan penurunan harga ini didasarkan pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 38 tahun 2008 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Tanah (Kerosene), Bensin Premium, dan Minyak Solar (Gas Oil) Untuk Keperluan Rumah Tangga, Usaha Kecil, Usaha Perikanan, Transportasi, dan Pelayanan Umum, tanggal 28 November 2008.
"Terhitung berlaku mulai pukul 00.00 WIB tanggal 1 Desember 2008, harga eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) tertentu jenis Premium turun menjadi Rp 5.500 per liter," kata Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Departemen Energi dan Sumbar Daya Mineral Departemen ESDM Sutisna Prawira dalam siaran persnya di Jakarta, Minggu (30/11).
Ketetapan penurunan harga ini didasarkan pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 38 tahun 2008 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Tanah (Kerosene), Bensin Premium, dan Minyak Solar (Gas Oil) Untuk Keperluan Rumah Tangga, Usaha Kecil, Usaha Perikanan, Transportasi, dan Pelayanan Umum, tanggal 28 November 2008.
Namun penurunan harga bensin dianggap tidak berdampak banyak pada perekonomian secara makro, karena tidak diikuti penurunan harga bahan bakar lainnya, terutama jenis solar yang banyak digunakan sektor angkutan umum.
Chairman Executive Deputy Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Djimanto mengatakan, harga premiun bersubsidi yang dari Rp 6.000 menjadi Rp 5.500 seliter tersebut tidak mampu Industri di Indonesia.
"Kalau turunnya cuma Rp 500 dan hanya untuk premium saja ya tidak signifikan. Yang dapat pengaruh ya cuma kendaraan pribadi dan angkutan umum. Itu pun hanya mengurangi ongkos operasi, tetapi tetap sedikit," kata Djimanto saat dihubungi Persda Network di Jakarta, Minggu (30/11) malam.
Djimanto meminta agar pemerintah tidak tanggung-tanggung saat menurunkan harga premium. Bila pada saat menaikkan harga juga tidak tanggung-tanggung, maka saat menurunkannya tidak tanggung juga. Penurunan harga premiun akan signifikan bila turunnya minimal Rp 1.000 per liter. "Atau bagaimana caranya agar subsidi dilakukan bukan pada barangnya tetapi untuk lepisan masyarakatnya. Misalnya subsidi premium bagi angkutan umum," tandasnya.
Untuk Industri, Djimanto menyatakan sama sekali tidak tersentuh turunnya harga premium tersebut. Hal ini disebabkan karena hampir seluruh industri menggunakan BBM solar. "Kalau solarnya nggak turun ya sama saja. Karenanya yang kita harapkan bagaimana agar harga solar turun," ujarnya.
Dia juga mengingatkan, saat ini ongkos produksi industri di Indonesia terbentur oleh harga solar dan naiknya suku bunga perbankan di Indonesia. "Pada saat negara lain menurunkan suku bunga perbankan, di sini suku bunganya malah naik. Ongkos produksi pun ikut naik," tandasnya.
Sebagai akibatnya, produk-produk impor yang menyerbu ke dalam negeri pun sulit dibendung karena harganya lebih murah dibanding dengan produksi dalam negeri. Menurutnya, ini tidak adil karena pemerintah sendiri yang membuat produksi dalam negeri tidak mampu bersaing dengan produk impor.
Sementara Ketua Umum Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) Murphy Hutagalung mengatakan pihaknya tidak akan menurunkan tarif angkutan umum. Hal ini juga telah disetujui oleh Departemen Perhubungan. "Penurunan harga premium cuma Rp 500 per liter, sementara nilai rupiah terhadap dollar terus menurun. Harga spare part pun semakin tinggi, setidaknya naik lima persen. Jadi kalau tarif turun maka pendapatan tidak menutupi ongkos," kata Murphy saat dihubungi.
Selain itu, jelasnya, angkutan yang menggunakan premium sebagai bahan bakar jumlahnya tidak lebih dari 30 persen. Sedangkan yang 70 persen angkutan menggunakan solar yang malah tidak diturunkan oleh pemerintah.
Pengamat perminyakan dan energi, Dr Kurtubi mengatakan, penurunan harga premium tidak cukup. Menurutnya, kalau turunnya hanya Rp 500 dan hanya jenis premium, tidak punya dampak terhadap perekonomian dalam negeri. Penurunan hagra BBM ini dimaksudnya untuk membantu sektor riil, nelayan, pelaku usaha kecil dan menengah, tukang ojek dan untuk meningkatkan daya beli.
"Menurut pendapat saya, biaya pokok BBM antara 4.500 - 5.000 per liter, tergantung kurs rupiah terhadap dolar. Kalau itu menjadi setandard, premium mestinya turun antara Rp 1.000 sampai Rp 1.500 per liter menjadi Rp 5.000 atau Rp 4.500, dan solar turun Rp 500 sampai Rp 1.000 menjadi 4.500 atau Rp 4.000," ujarnya.
Turunnya harga bensin 500 perak, tidak signifikan mendorong sektor riil, dan tidak signifikasn mendorong daya beli masyarkat. "Harga solar yang mestinya prioritas turun, padahal dengan harga minyak mentah di bawah 50 dollar per barrel, dan nilai tukar dollar Rp 12 ribu per dollar, terbuka peluang bagi pemerintah menurunkan harga minya lebih besar, bukan saja premium, tetapi juga solar," ujar Kurtubi.
Dengan penurunan segitu kecil, Kurtubi ragu, jangan harga harga-harga. "Jangan harga-harga kebutuhan pokok, tarif angkot saja tidak akan turun. Kecuali solar yang turun," tandasnya.
Chairman Executive Deputy Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Djimanto mengatakan, harga premiun bersubsidi yang dari Rp 6.000 menjadi Rp 5.500 seliter tersebut tidak mampu Industri di Indonesia.
"Kalau turunnya cuma Rp 500 dan hanya untuk premium saja ya tidak signifikan. Yang dapat pengaruh ya cuma kendaraan pribadi dan angkutan umum. Itu pun hanya mengurangi ongkos operasi, tetapi tetap sedikit," kata Djimanto saat dihubungi Persda Network di Jakarta, Minggu (30/11) malam.
Djimanto meminta agar pemerintah tidak tanggung-tanggung saat menurunkan harga premium. Bila pada saat menaikkan harga juga tidak tanggung-tanggung, maka saat menurunkannya tidak tanggung juga. Penurunan harga premiun akan signifikan bila turunnya minimal Rp 1.000 per liter. "Atau bagaimana caranya agar subsidi dilakukan bukan pada barangnya tetapi untuk lepisan masyarakatnya. Misalnya subsidi premium bagi angkutan umum," tandasnya.
Untuk Industri, Djimanto menyatakan sama sekali tidak tersentuh turunnya harga premium tersebut. Hal ini disebabkan karena hampir seluruh industri menggunakan BBM solar. "Kalau solarnya nggak turun ya sama saja. Karenanya yang kita harapkan bagaimana agar harga solar turun," ujarnya.
Dia juga mengingatkan, saat ini ongkos produksi industri di Indonesia terbentur oleh harga solar dan naiknya suku bunga perbankan di Indonesia. "Pada saat negara lain menurunkan suku bunga perbankan, di sini suku bunganya malah naik. Ongkos produksi pun ikut naik," tandasnya.
Sebagai akibatnya, produk-produk impor yang menyerbu ke dalam negeri pun sulit dibendung karena harganya lebih murah dibanding dengan produksi dalam negeri. Menurutnya, ini tidak adil karena pemerintah sendiri yang membuat produksi dalam negeri tidak mampu bersaing dengan produk impor.
Sementara Ketua Umum Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) Murphy Hutagalung mengatakan pihaknya tidak akan menurunkan tarif angkutan umum. Hal ini juga telah disetujui oleh Departemen Perhubungan. "Penurunan harga premium cuma Rp 500 per liter, sementara nilai rupiah terhadap dollar terus menurun. Harga spare part pun semakin tinggi, setidaknya naik lima persen. Jadi kalau tarif turun maka pendapatan tidak menutupi ongkos," kata Murphy saat dihubungi.
Selain itu, jelasnya, angkutan yang menggunakan premium sebagai bahan bakar jumlahnya tidak lebih dari 30 persen. Sedangkan yang 70 persen angkutan menggunakan solar yang malah tidak diturunkan oleh pemerintah.
Pengamat perminyakan dan energi, Dr Kurtubi mengatakan, penurunan harga premium tidak cukup. Menurutnya, kalau turunnya hanya Rp 500 dan hanya jenis premium, tidak punya dampak terhadap perekonomian dalam negeri. Penurunan hagra BBM ini dimaksudnya untuk membantu sektor riil, nelayan, pelaku usaha kecil dan menengah, tukang ojek dan untuk meningkatkan daya beli.
"Menurut pendapat saya, biaya pokok BBM antara 4.500 - 5.000 per liter, tergantung kurs rupiah terhadap dolar. Kalau itu menjadi setandard, premium mestinya turun antara Rp 1.000 sampai Rp 1.500 per liter menjadi Rp 5.000 atau Rp 4.500, dan solar turun Rp 500 sampai Rp 1.000 menjadi 4.500 atau Rp 4.000," ujarnya.
Turunnya harga bensin 500 perak, tidak signifikan mendorong sektor riil, dan tidak signifikasn mendorong daya beli masyarkat. "Harga solar yang mestinya prioritas turun, padahal dengan harga minyak mentah di bawah 50 dollar per barrel, dan nilai tukar dollar Rp 12 ribu per dollar, terbuka peluang bagi pemerintah menurunkan harga minya lebih besar, bukan saja premium, tetapi juga solar," ujar Kurtubi.
Dengan penurunan segitu kecil, Kurtubi ragu, jangan harga harga-harga. "Jangan harga-harga kebutuhan pokok, tarif angkot saja tidak akan turun. Kecuali solar yang turun," tandasnya.
Ayo Berhemat !!!
Untuk Mendapatkan Tips Terbaru Otomatis ke Inbox Email Anda, Silahkan Masukkan Email ke dalam Form yang ada di Bawah ini :
3 comments:
horeee, premium turun, mudah2an harga2 juga ikutan turun, thanks mas , atas add link blogku.
see u
teguh
mestinya minyak tanah juga turun masa orang mau masak pake bensin bisa meleduk dong hehhee
thanks juga teguh..,thanks for comments all of u..
Posting Komentar